17. AKU INGIN BEGINI, AKU INGIN BEGITU!

UI Sehat Mental
7 min readNov 25, 2020

--

Pengen kayak temen gue yang bisa jadi Project Officer acara besar gitu, deh.”

Pengen kayak kating gue yang bisa ikut konferensi internasional

gitu, deh.”

Pengen kayak dosen gue yang bisa penelitian ke luar negeri gitu, deh.”

Photo by Artem Maltsev from Unsplash

Jika kita diberikan privilese untuk dikelilingi oleh orang-orang yang hebat, pemikiran-pemikiran serupa pasti kerap terlintas di kepala. Selain dari orang hebat yang ada di sekeliling, bisa pula yang menjadi panutan kita adalah tokoh-tokoh yang sudah dikenal akan pencapaiannya. Namun, satu hal yang pasti, mereka telah merepresentasikan sosok role model yang menginspirasi kita untuk menjadi lebih ambisius (Ronkainen et al., 2019).

Photo by Bruce Mars from Unsplash

Mungkin: banyak dari kita yang mulai bertanya-tanya: apakah kebutuhan untuk memiliki role model masih relevan?

Well, sebenarnya seiring usia bertambah, kepercayaan akan konsep diri cenderung meningkat sehingga kebutuhan untuk memiliki role model berkurang (Morgenroth et al., 2015). Wajar apabila beberapa dari kita yang sudah tidak melakukan role-modelling. Namun, banyak juga studi yang membuktikan bahwa pada orang dewasa sekalipun, memiliki role model memberikan manfaat. Bahkan pada perusahaan-perusahaan ternama yang menerapkan konsep management training (MT), para trainee-nya diberikan role model untuk memacu mereka bersaing di dunia karir.

Memangnya apa sih manfaat dari role model itu pada orang-orang dewasa yang bisa dikatakan sudah memiliki self-concept yang baik? Berikut adalah beberapa alasannya menurut Sealy & Singh (2008):

  1. Role model mendorong seseorang untuk mengejar tujuan tertentu. Saat kita berusaha untuk menggapai suatu tujuan, otak dan tubuh kita akan bekerja untuk memfasilitasinya. Jadi bisa dikatakan bahwa dengan berusaha untuk mencapai suatu tujuan tertentu, kita telah benar-benar hidup.
  2. Memudahkan adaptasi, mempertahankan motivasi, dan tetap tekun dengan tujuan-tujuan yang dipilih. Hal yang wajar apabila kita menemukan banyak kesulitan dalam proses menggapai mimpi atau cita-cita. Keberadaan role model bisa membantu dalam menghadapi masa-masa sulit tersebut. Secara tidak langsung keberhasilan mereka dapat memberikan kita keyakinan bahwa kesulitan yang terjadi bukanlah sesuatu yang sukar diatasi.
  3. Menawarkan ‘batu bata’ untuk membangun identitas yang lebih solid. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa manusia belajar melalui proses modeling orang lain. Ketika pengalaman-pengalaman role modeling ini terakumulasi, terutama selama masa remaja, kita belajar dalam mengambil keputusan-keputusan yang mendefinisikan diri kita secara bijaksana. Oleh karena itu sangat dibutuhkan kehadiran role model yang sifatnya menginspirasi secara positif di masa remaja.
Photo by S O C I A L . C U T from Unsplash

Sebenarnya, konsep Social Learning Theory yang digagas oleh Albert Bandura melandasi kebutuhan akan role model. Bandura menyampaikan bahwa salah satu cara agar seseorang dapat belajar secara efektif adalah dengan mengamati tingkah laku orang lain. SLT mempercayai bahwa dengan melakukan observasi terhadap role model, kita mendapat kemudahan dalam mempelajari keterampilan baru, norma, dan memahami lingkungan. Komponen yang mendasari proses belajar ini adalah:

  1. Atensi, dalam konteks role model, tentu ada hal dari diri mereka yang menarik perhatian kita.
  2. Retensi, lalu kita akan mengorganisasi informasi mengenai inspirasi yang didapat dari role model tersebut ke dalam sistem kognisi.
  3. Reproduksi Motorik, karena proses SLT melibatkan domain kognitif dan tingkah laku, idealnya kehadiran role model mendorong kita untuk memproduksi suatu perilaku.
  4. Motivasi, seperti proses pembelajaran lainnya, mempelajari sesuatu melalui role model juga harus didorong oleh motivasi yang berkelanjutan.

Maka dari itu, seseorang sebenarnya tidak bisa dikatakan benar-benar memiliki role model jika keberadaan panutan tersebut tidak mendorong mereka untuk melakukan sesuatu yang lebih ambisius.

“Learning would be exceedingly laborious, not to mention hazardous, if people had to rely solely on the effects of their own actions to inform them what to do. Fortunately, most human behavior is learned observationally through modeling: from observing others one forms an idea of how new behaviors are performed, and on later occasions this coded information serves as a guide for action.” — Albert Bandura

Photo by Isaiah Rustad from Unsplash

Meskipun demikian, meneladani role model secara tepat itu perlu disertai dengan batasan-batasan tersendiri. Jangan sampai kita malah bertujuan untuk menjadi sama persis dengan role model. Kesalahan dalam meneladani role model merupakan salah satu bentuk sabotase diri yang belum banyak diketahui oleh orang. Berikut adalah bentuk sabotase diri yang merupakan hasil dari meneladani role model secara tidak tepat:

  1. Terlalu berfokus dengan keberhasilan mereka, kita malah menjadi takut gagal dan kerap menunda waktu untuk benar-benar mencoba.
  2. Mengambil keputusan-keputusan impulsif dan malah menyiksa diri dengan toxic productivity.

Kesalahan-kesalahan ini biasanya membawa kita bertanya-tanya mengapa banyak hal tidak berjalan sesuai harapan atau bahkan membuat kita kehilangan momentum untuk benar-benar mencoba.

Oleh karena itu, sebelum benar-benar menjadikan seseorang sebagai role model, kita harus merefleksikan terlebih dahulu beberapa pertanyaan di bawah:

Apakah kita percaya bahwa ada dua orang yang bisa persis sama?

Apakah kita percaya bahwa tidak ada orang yang membuat kesalahan dalam hidupnya?

Apakah kita percaya bahwa ada orang yang sempurna?

Jika jawaban dari ketiga pertanyaan itu adalah tidak, berarti kita telah siap untuk menerima kehadiran role model dalam hidup kita.

Photo by Belinda Fewings from Unsplash

Secara lebih detail, meneladani role model dengan tepat dapat dilakukan dengan mengikuti beberapa langkah berikut:

  1. Terlebih dahulu amati role model untuk mengidentifikasi identitas potensial diri kita yang ada pada mereka. Hal ini dilakukan untuk mencegah kita hanya melakukan imitasi semata.
  2. Bereksperimen dengan diri sendiri menggunakan nilai dan perilaku yang diadopsi dari sang role model. Langkah ini harus didorong oleh motivasi dan diproduksi oleh sistem reproduksi motorik.
  3. Evaluasi eksperimen tersebut berdasarkan standar internal dan umpan balik eksternal. Jangan takut untuk mengganti rencana atau beristirahat sejenak apabila beberapa hal tidak berjalan sesuai dengan harapan.

Langkah-langkah tersebut akan membantu kita untuk memahami bahwa kita tetap merupakan individu yang berbeda dari para role model yang diteladani. Role model tidak seharusnya membuat kita menjadi sama persis dengan mereka, sebab situasi yang kita hadapi bisa jadi sangat berbeda dengan yang mereka hadapi. Jangan pula sampai mengesampingkan kemungkinan bahwa kita dapat menemukan solusi yang lebih baik tanpa pengaruh role model.

Pembelajaran melalui role model, termasuk keberhasilan dan kegagalan yang terjadi sepanjang prosesnya, sebenarnya bertujuan untuk membawa kita lebih dekat ke identitas diri yang sebenarnya. Berdasarkan teori identity status yang digagas oleh James Marcia (diadopsi dari teori psikososial milik Erik Erikson), individu dikatakan berhasil mencapai kondisi identity achievement ketika berhasil melalui masa-masa krisis. Identity achievement sendiri memiliki makna sebagai keadaan dimana seseorang telah melalui krisis identitas dan berhasil membangun komitmen pada rasa identitas (yaitu peran atau nilai tertentu) yang sudah dipilihnya (Marcia et al., 2012).

Lagi pula, hidup itu perjalanan…

Role model tentu akan membantu kita untuk menentukan hingga mencapai tujuan tertentu.

Namun, memiliki tujuan untuk menjadi sama persis dengan role model bukanlah hal yang tepat — apalagi menjadikan keberhasilan mereka seolah-olah sebagai tujuan dari hidup kita secara keseluruhan. Hidup kita itu adalah sebuah perjalanan, bukan tujuan. Oleh karena itu, jadikanlah role model sebagai pemantik untuk keluar dari zona nyaman dan bereksperimen dengan diri, sekalipun hal tersebut tidak selalu membuahkan hasil yang didambakan. Sebab, akan selalu ada pelajaran yang bisa diperoleh dari perjalanan yang berisi kesuksesan dan kegagalan.

Photo by Dayne Topkin from Unsplash

References:

Austin, M. J., & Nauta, M. M. (2015). Entrepreneurial role-model exposure, self-efficacy, and women’s entrepreneurial intentions. Journal of Career Development, 43(3), 260–272. https://doi.org/10.1177/0894845315597475

Bandura, A. (1977). Social learning theory. Prentice Hall ; Toronto.

Borrett, C. (n.d.). What are the disadvantages of role modelling? BizLeap — Master Your Business — Master Yourself. https://bizleap.com.au/disadvantages-role-modelling/

Erikson, E. H. (1994). Identity: Youth and crisis. W. W. Norton & Company.

Everly Jr, G. S. (2020, January 7). Self-sabotage: How to recognize and conquer it. Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/us/blog/when-disaster-strikes-inside-disaster-psychology/202001/self-sabotage-how-recognize-and-conquer

Ibarra, H. (1999). Provisional selves: Experimenting with image and identity in professional adaptation. Administrative Science Quarterly, 44(4), 764. https://doi.org/10.2307/2667055

Marcia, J. E., Waterman, A. S., Matteson, D. R., Archer, S. L., & Orlofsky, J. L. (2012). Ego identity: A handbook for psychosocial research. Springer Science & Business Media.

Morgenroth, T., Ryan, M. K., & Peters, K. (2015). The motivational theory of role modeling: How role models influence role aspirants’ goals. Review of General Psychology, 19(4), 465–483. https://doi.org/10.1037/gpr0000059

Price-Mitchell, M. (2017, April 24). How role models influence youth strategies for success. Roots of Action. https://www.rootsofaction.com/role-models-youth-strategies-success/

Ronkainen, N. J., Ryba, T. V., & Selänne, H. (2019). “She is where I’d want to be in my career”: Youth athletes’ role models and their implications for career and identity construction. Psychology of Sport and Exercise, 45, 101562. https://doi.org/10.1016/j.psychsport.2019.101562

Sealy, R., & Singh, V. (2008). The importance of role models in the development of leaders’ professional identities. Leadership Perspectives, 208–222. https://doi.org/10.1057/9780230584068_15

Snowman, J., & McCown, R. (2014). Psychology applied to teaching. Cengage Learning.

--

--

UI Sehat Mental
UI Sehat Mental

Written by UI Sehat Mental

Gerakan promotif mengenai isu kesehatan mental bagi mahasiswa UI oleh BEM Fakultas Psikologi UI. instagram.com/uisehatmental

No responses yet